Berusaha Memahami Islam Progresif
Reviu ini merupakan upaya menuliskan pemahaman yang didapat dalam kelas Pra-Pesantren Agraria (Pra-PA) yang diadakan oleh Front Nahdliyin untuk Kedaulatan sumber Daya Alam (FNKSDA) Semarang.
…
Mungkin Anda pernah mendengar ceramah yang bernuansa untuk membuat orang berlaku sabar dan ikhlas atas cobaan hidup. Di mimbar masjid, khotib berceramah mengenai keutamaan orang yang bersabar ketika menghadapi permasalahan kemiskinan. Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar cerita tentang bagaimana seorang ulama yang memberikan petuah malam kepada warga agar ikhlas dan patuh kepada pemerintah yang hendak membebaskan lahan rumah warga untuk dijadikan jalan tol.
Sedari kecil, saya sudah kenyang mendengarkan tausiyah-tausiyah semacam itu. Bahwa dengan berlaku sabar, maka Tuhan yang MahaKuasa akan memberikan balasan seimpal. Kuncinya adalah berupaya untuk semakin mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Doa dpanjatkan setiap malam. Pola yang sama menunjukkan bahwa segala keterpurukan manusia adalah cobaan dan pasrah kepada Tuhan adalah jalan keluarnya.
Saya tidak ada persoalan setuju atau tidak setuju dengan penjelasan di muka. Saya hanya berupaya mendeskripsikannya. Sebagai orang yang percaya dengan eksistensi Tuhan, saya pun berdoa dan memandang bahwa segala sesuatu itu sudah diatur oleh Tuhan. Tugas manusia adalah mengupayakan yang terbaik.
Sekalipun Marx dan turunannya berbusa-busa berteriak “Agama adalah candu”, kita tidak bisa memungkiri bahwa realitas masyarakat kita bercorak agamais, berbudaya, dan memegang nilai-nilai luhur. Akademisi menyebutnya sebagai budaya ke-Timur-an. Sekalipun dalam banyak hal, apa yang disebut ke-Timur-an begitu bermasalah jika kita menengoknya dalam kecamata sejarah pemikiran.
…
Islam sudah mengajarkan tiga perangkat kesejahteraan — kalau boleh saya menyebutnya demikian — dalam hidup: khusnudzon, ikhtiyar, dan tawakkal. Setidaknya itu yang saya dapat dalam mata pelajaran pendidikan agama islam kala sekolah menengah. Hanya saja, tiga perangkat itu tidak pernah dijelaskan lebih rinci, kontekstual, dan dielaborasi dengan suatu kasus atau permasalahan sosial. Alhasil, pembahasannya satgnan. Khusnudzon paling banter dijelaskan sebatas berprasangka baik. Ikhtiyar adalah berusaha. Lalu tawakal adalah berpasrah diri atas apa yang sudah diusahakan kepada Tuhan. Sesimpel itu. Tidak heran jika buku pelajaran PAI hari ini tidak menarik untuk dibaca, apalagi dipelajari.
Padahal, kita bisa memperluas bahasan tiga perangkat itu secara kritis, kontekstual, dan dielaborasi dengan suatu permasalahan sosial. Jika khusnudzon diartikan sebagai berprasangka baik, bisakah kita menjelaskan kepada warga yang ditindas proyek bendungan untuk berprasangka baik kepada dirinya, kepada tanahnya, kepada kekuatan sosialnya untuk mempertahankan ruang hidup? Jika ikhtiyar diartikan sebagai berusaha sebaik-baiknya, bisakah kita menjelaskan kepada golongan mustadafin untuk terus berusaha melawan penindasan dengan berbagai cara yang nyata, seperti jalur litigasi, non-litigasi, propaganda, dan pengorganisasian massa? Jika tawakkal dimengerti sebagai berpasrah diri atas apa yang sudah diperjuangkan, bisakah kita berdialog dengan korban-korban ketidakadilan bahwa kepasrahan spiritual kepada Tuhan adalah kepasrahan untuk terus berefleksi untuk memikirkan jalan lain untuk setiap kegagalan dalam berjuang. Tuhan memberikan petunjuk melalui beragam cara. Dan bila akhirnya kekalahan demi kekalahan terus didapat, itu adalah kekalahan yang terhormat. Sangat jauh dengan pasrah yang bersinonim dengan tunduk.
…
Saya pikir begitulah jalan pikir islam porgresif. Ia adalah cara berislam yang kritis, kontekstual, dan mampu untuk mengelaborasi permasalahan sosial paling kiwari sekalipun. Lebih dari itu, ia tidak hanya bercakap-cakap dan berceramah saja. Islam progresif menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mencari penghidupan yang lebih baik bagi lapisan manusia korban ketidakadilan. Saya menyebut islam progresif itu kritis karena ia selalu dipenuhi dengan keragu-raguan. Keragu-raguan yang dimaksud bukanlah upaya menolak segala bentuj pencarian kebenaran. Namun, keraguan yang dimaksud adalah bentuk ketelitian dan kehati-hatian dalam melihat atau membaca teks sosial.
Saya menyebut islam progresif sebagai jalan pikir yang kontekstual karena zaman berkembang, permasalahn sosial berkembang, begitupun dengan pemikiran. Oleh karena itu, islam progresif memandang sebuah penafsiran nilai-nilai islam secara menyeluruh. Sebuah tafsir dilihat dari siapa yang menafsirkan, kapan itu ditafsirkan, konteks sosial seperti apa yang menimbulkan tafsir itu muncul, apa latar belakang dari si penafsir, bagaimana jejak keilmuwannya, bagaimana jejak keterlibatannya di dalam permasalah sosial, dan seterusnya.
Termasuk menyambung dengan jalan pikir yang mampu mengelaborasi permasalahan sosial paling kiwari adalah bagaimana suatu permasalahan sosial dilihat dari berbagai sudut pandang. Berkembangnya teori-teoris sosial, paradigma pergerakan, sikap ilmiah nan logis juga digunakan oleh islam progresif untuk membaca permasalah sosial dengan lebih cermat. Kemudian, keseluruhan sudut pandang itu dielaborasi dengan nilai-nilai keislaman. Bahwa apa yang dikatakan oleh teori sosial, gerakan, dan segala macam perangkat analisis dijustifikasi oleh islam untuk disampaikan dan diperjuangkan bersama dengan korban ketidakadilan.
…
Term diperjuangkan bersama ini juga menjadi ciri islam progresif yang berikut. Bahwa orang yang mendapuk diri sebagai islam progresif bukanlah mereka yang berhenti pada ceramah-ceramah keislaman. Namun, ia juga turut serta di dalam upaya pembebasan, turut serta dalam kerja-kerja pengorganisasian. Ia tidak membedakan diri dengan masyarakat yang dibela. Ia menjadi satu kesatuan.
Itulah yang membedakannya dengan islam-islam yang lain, seperti islam liberal, islam kiri, dan islam moderat. Islam progresif memiliki basis epistemologis yang diperkaya dengan pemikiran dunia dalam lintasan sejarah pemikiran. Keperpihakannya kepeda yang yang lemah dan dilemahkan. Dan posisinya imanen pada apa yang mereka perjuangkan. Tidak heran jik Gus Fayyadl mendefinisikan islam progresif sebagai kubu islam yang tidak terpisah dari masyarakatnya, atau menempatkan diri sebagai kelas menengah yang berdiri di atas pundak masyarakatnya, dengan atribut-atribut keistimewaan-keistimewaan yntelektualnya sendiri. Ia adalah persenyawaan antara pengalaman masyarakat tertindas, ajaran relijius, nilai kearifan lokal, doktrin islam, atau kebijaksanaan universal, dan teori sosial-kritis yang berwawasan struktural dan emansipatif, serta komitmen etis dna moral yang diasah terus-menerus dalam wujud keberpihakan dan aksi yata membumikan wacana pembebasan yang dibawanya hingga taraf yang paling uopis dan “mustahil”.
Saya menyebut beberapa istilah yang dilekatkan dengan “islam”, seperti liberal, kiri, moderat, dan tentu saja progresif. Pada tulisan selanjutnya, saya akan mengulasnya.
Sekian.