Catatan Belajar dan Refleksi
Dulu, kupikir suasana kuliah akan begitu berbeda dengan sekolah. Baik suasana belajar, kawan-kawan, seragam, dan seterusnya. Pada dasarnya, aku ini pemalu. Mudah gugup. Deg-deg-an dan seterusnya. Terutama ketika harus tampil di depan dan berucap sepatah dua patah kata. Pertama, karena terkadang, aku tidak percaya diri dengan namaku, dulu. Aku sadar itu pemberian orang tuaku. Dan ketika ayah menceritakan tentang sosok besar di balik namaku, aku langsung tertegun dan mempunyai gairah untuk mengeksplorasi dunia. Kedua, aku tidak percaya dengan suaraku sendiri. Aku merasakan suaraku yang kecil dan terdengar bindeng. perlu kau tahu. Itu bukan pandangan spekulatif. Namun, ada yang mengatakannya padaku dan aku mengamininya.
Di dalam dunia kuliah, aku begitu antusias. Inilah tempat untuk mengubah diri. Orang-orang besar akan kutemui sesaat lagi. katanya, suasana belajar saat kuliah begitu berbeda dengan suasanan belajar di kelas saat sekolah. Tentu saja. Dan harusnya memang begitu. Apalagi jurursan yang kuambil sangat menuntut kemahiran dalam berbicara, menyampaikan argumentasi, dan segala hal yang berkaitan dengan komunikasi. Iya, aku berkuliah di jurursan Ilmu Politik. Sebuah ilmu yang mempelajari manusia, kuasa, dan bagaimana keduanya bekerja.
Tentu saja aku mempunyai ekspektasi tinggi mengenai iklim belajarnya. Kata temanku, kita akan disuguhnya banyak diskusi, banyak pemikiran, dan pertukaran pendapat. Ilmu Politik tidak akan berkembang jika hal itu tidak dilakukan. Pemikiran tidak akan bertumbuh, Dan hanya menghasilkan badut-badut sarjana yang tidak berorientasi pada perkembangan sebuah peradaban.
Sayangnya, apa yang aku dapati di sini, tidak selalu demikian. Menurutku, iklim belajar jurusan ilmu politik di kampusku sangat kurang. Bahkan sejak dalam pikiran. Mahasiswa sama saja dengan siswa sekolah. Masuk kelas. Duduk. Dosen masuk. Materi, Mahasiswa mendengar. Bertanya bila dipersilakan. Dan beranjak pulang ketika usai.
Atas ketidakpuasan itu, kulampiaskan metode belajarku dengan banyak membaca pemikiran tokoh besar. Aku tidak mau berpatok pada pakem. Aku ingin keluar dari jeratan sistem yang memuakkan itu. Di dalam kelas yang seharusnya tempat menjunjung tinggi kebebasan berpikir, aku kecewa. Hal itu tidak kudapati. Aku tidak lain hanya sebatas mesin robotik yang setiap hari diberi “minyak” pengetahuan, tanpa pernah menanyakan kualitas pengetahuan itu. Kita dipaksa untuk hanya sekadar menerima tanpa harus memastikan terlebih dahulu.
Jujur, aku juga terbawa terhadap rasa takut akan jurang yang disebut etika. Di dalam pertukaran pikiran, tradisi kita belum bisa memberikan definisi yang jelas tentang batas etika di dalam ruang kelas.
Entahlah. Itu yang kurasakan. Aku tidak begitu bebas untuk bicara dan bertanya banyak hal. Mungkin karena ketakutanku sendiri atas trauma masa lalu dan memang ketakukan itu memang dirancang oleh sistem.