Catatan Suluk Senin Pahingan #8: Mendedah Pendidikan Anak
“Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tin: 4).”
Saya begitu tertegun mendengar kalimat itu. Elaborasi quran, matematika, dan pendidikan sedikit membuka pemikiran saya tentang dunia pendidikan anak. Pak Karim—demikian saya menyapanya—memberikan perspektif lain dalam memahami dunia pendidikan.
Suluk Senin Pahingan Ke-8 ini membahas tema pendidikan anak. Ada tiga narasumber: Abdul Karim (pendidik), Kusfitria Marstyasih (Pemilik Komunitas Rumah Kita, Demak), dan Ahmad Supari (Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Nahdlatul Ulama 05 Kendal). Ketiganya memberikan perspektif berbeda. Masing-masing adalah representasi jenis pendidikan di Indonesia. Pak Karim mewakili sektor nonformal. Pak Supari mewakili sektor formal. Dan Mbak Pipit—demikian panggilannya—mewakili sektor informal.
Gunawan Budi Susanto a.k.a. Kang Putu menjadi moderator dengan pembawaan yang serius, tajam, namun elegan. Berbagai elaborasi pengalaman dan beragam perspektif mengenai pendidikan tumpah ruah di aula Pondok Pesantren Al-Itqon asuhan Kyai Ubaedilah Shodaqoh.
Sebuah Keresahan
Melihat bonyoknya pendidikan Indonesia hari ini, saya cukup antusias untuk mengikuti diskusi seputar pendidikan. Apalagi pendidikan anak. Saya pikir, isu pendidikan tidak bisa kita abaikan dalam perjuangan gerakan sosial. Kita butuh regenerasi untuk memperpanjang napas pergerakan. Melalui dunia pendidikan lah bibit unggul pencipta pembaruan yang progresif dapat dimungkinkan. Apa lah artinya jikalau kita hanya keras menghantam rezim kapitalis tanpa menyiapkan dan memberikan perhatian kepada dunia pendidikan.
Pasalnya, dalam pandangan Paulo Freire, dunia pendidikan lah yang membentuk manusia. Anasir setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah merupakan prinsip dasar yang harus dipegang dalam didik-mendidik.
Oleh karena itu, cara pandang kita dalam menempatkan manusia di sekolah menjadi penting untuk dibahas.
Mbak Pipit memulainya dengan memberikan perspektif hubungan antara pendidik dan pembelajar sebagai hubungan subyek-subyek bahkan semenjak dari rumah. Contoh yang paling gamblang adalah membiarkan seorang anak bertanya tanpa batas dalam usia perkembangannya. Karena melalui upaya bertanya, ilmu pengetahuan dapat terbentuk dalam diri anak.
Gagasan itu yang sedang disosialisikan oleh kawan-kawan komunitas Rumah Kita kepada lingkungan paling awal dalam pendidikan: keluarga.
Perundungan
Selain hubungan setara antara pendidik dan pembelajar, tindak kekerasan di dunia pendidikan juga dibahas oleh Mbak Pipit. Melalui kampanye seputar bullying, Mbak Pipit mencoba untuk memberikan pemahaman bahwa bullying dan “lestling” — kalau enggak salah dengar mengenai istilahnya — mempunyai perbedaan. Bullying merujuk pada upaya perundungan baik secara fisik maupun mental. Sedangkan, istilah satunya merujuk pada upaya mengejek yang diekspresikan sebagai bentuk persahabatan.
Beberapa di antara kita mungkin punya pengalaman masa kecil memanggil seorang kawan dengan nama bapaknya. Itu adalah salah satu contoh kecil dari ekspresi lestling. Namun, jika keakraban tidak terbentuk, guyonan tersebut hanya akan merusak mental anak.
Beberapa dari kita juga mungkin mempunyai pengalaman dibanding-bandingkan dengan saudara atau anak tetangga. Kita dituntut untuk menyamai bahkan melampauinya. Mbak Pipit melihat hal tersebut sebagai perundungan sistemik di dalam keluarga.
Pentingnya kedudukan yang setara antara pendidik dan pembelajar menjadi catatan penting dari diskusi ini.
Mendidik Manusia
Saya sangat tertarik dengan penjelasan Pak Karim. Melalui matematika, ia membeberkan masalah pendidikan anak dan alternatifnya. Ia mencontohkan bagaimana matematika diajarkan di sekolah. Di dalam kelas, matematika diajarkan hanya dalam lingkup hitungan dan rumus yang terus berulang. Padahal, jika matematika hanya masalah menghitung, fungsi tersebut sudah digantikan oleh kalkulator dan komputer.
Dari kisah bagaimana Karl Frederich Gauss — seorang matematikawan Jerman—menyelesaikan masalah matematika saat kecil, Pak Karim memberikan konsep bahwa matematika juga kaya akan masalah, pola, dan alternatif penyelesaian. Begitu lah hidup. Bukan hanya soal perhitungan, tetapi dinamis. Konsep pendidikan yang dipakai hari ini sudah ketinggalan dan tidak relevan. Semua yang ditampilkan bercorak rutinitas dan satu pola semata.
Dalam mendidik, kita perlu berpegang pada aksioma (sesuatu yang kita sepakati) dan membuktikannya atau melaksanakannya melalui teorema (sesuatu yang harus dibuktikan). Begitu istilah matematikanya.
Dalam quran, aksioma pendidikan anak tertera pada Q.S. At-Tin: 4 yang artinya, “Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Kita sepakat bahwa setiap manusia mempunyai kecerdasan masing-masing. Oleh karena itu, pendidikan anak tidak bisa disamaratakan. Bahwa manusia itu sudah “sebaik-baiknya" sejak penciptaaan. Sedangkan pendidikan hadir untuk menyempurnakannya: menjadi pribadi yang bertaqwa, menguasai ilmu pengetahuan, dan tidak berbuat kerusakan di atas muka bumi. “Bila dikatakan kepada mereka ‘Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi… Q.S. Al-Baqarah:11.
Konsep pendidikan K.H. Sholeh Darat — yang disampaikan oleh Pak Supari—juga bertitik pada tiga hal: iso mikir, iso ngerasa, dan dadi wong nggenah. Bisa berpikir, artinya bukan hanya sekadar kognitif, tetapi mampu membedakan mana yang baik dan buruk; mana yang benar dan salah. Bisa merasa, artinya mampu berempati terhadap keadaan sekitar, kepada diri sendiri, sesama manusia, binatang, dan alam. Menjadi manusia yang benar, berarti mampu menjalankan fungsi kemanusiaannya. Bertindak sesuai nurani dan berpijak pada ilmu pengetahuan. Manusia menjadi sadar siapa dirinya, tentu saja semua dimaksudkan untuk menuju spiritualitas, kedekatan diri dengan Tuhan. Menyitir kata-kata Hamka, iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa imam bagaikan lentera di tangan pencuri.
Ilmu, Iman, dan Nurani
Kita kerap melihat bagaimana ilmu digunakan untuk mengakali manusia, menimbulkan kerusakan di muka bumi, dan mengakibatkan kehancuran. Perang antara Rusia-Ukraina menjadi contoh riil. Negara di dunia hari ini mengembangkan teknologi nuklir untuk membuat senjata pemusnah massal dalam bentuk bom nuklir. Kita tahu, beberapa negara yang menganggap dirinya superior mempunyai senjata tersebut. Padahal, tenaga nuklir dapat dimanfaatkan untuk menjadi energi terbarukan dalam jumlah yang sangat besar. Baik bom nuklir maupun pembangkit energi, keduanya bermula dari satu rumus dasar yang dikemukakan oleh Einstein: E = mc². Tidak heran, selain bangga, Einstein juga kerap menyesal akan penemuannya itu.
Saya jadi teringat konsep pendidikan Romo Mangun, bahwa setiap manusia mempunyai nurani. Nurani itulah yang harus diikuti oleh setiap manusia. Benar dan salah ditentukan oleh nurani. Baik dan buruk ditentukan oleh nurani. Karena nurani setiap manusia tidak mungkin salah. Tinggal akal dan tindakan kita yang menentukan, apakah nurani tersebut hendak kita ikuti atau tidak.
Bahwa tolak ukur pendidikan menurut Romo Mangun bukan nilai, bukan pencapaian kognitif, bukan pekerjaan yang didapat. Namun, seberapa mampu ia membebaskan diri dari ekspresi ketertindasan.
Tidak sia-sia saya berjalan jauh, belajar untuk memperhatikan dan mendengar lalu meresapi apa yang didapat dalam diskusi itu. Walaupun beberapa hal tidak saya setujui, itu maklum saja. Pembicara menyajikan pengalamannya sesuai kapasitas dan sektor pendidikan yang digelutinya.
Saya yakin bahwa hal-hal mendasar dalam memanusiakan manusia berawal dari pendidikan. Kadang orang luput dengan hal-hal mendasar semacam ini. Memang, bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya. Namun, apabila ia ditempatkan dalam sistem dan budaya pendidikan yang salah, ia akan menjadi manusia yang serendah-rendahnya.
ثُمَّ رَدَدۡنٰهُ اَسۡفَلَ سَافِلِيۡنَۙ
“Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”