Hidup Lingkungan yang Tidak “Hidup Lingkungan" Amat

Abdul Manan
3 min readFeb 22, 2022

--

Hidup Lingkungan!”

“Hidup Wadas!"

Konflik rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas menyulut api pergerakan mahasiswa. Mereka yang menyebut dirinya aktivis di bidang lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM) satu suara menolak. Solidaritas bermunculan. Gelombang demonstrasi berdatangan, di Semarang, Yogyakarta, dan sekitarnya.

Konflik di Wadas, tanpa menilik meniliknya dari akademisi, politisi, seorang begawan, dan perspektif lain, adalah murni persoalan perampasan tanah. Tanah bukan hanya komoditas. Tanah adalah ruang hidup. Manusia tidak bisa lepas dari tanah. Wadas memiliki kekayaan alam kayu, perkebunan dan pertanian. Beragam tanaman hidup dan menghidupi masyarakat sekitar. Jika tanah mereka ditambang, warga kehilangan mata pencaharian, kehilangan ruang sosial.

Ikatan warga Wadas dan tanahnya adalah ikatan hidup dan mati. Mereka murni berjuang mempertahankan kehidupan. Mereka memperjuangkan lingkungan mereka tinggal yang sudah dirawat dan kelak sampai mati dikebumikan pada tanah sendiri.

Saya menekankan pada “lingkungan tempat mereka tinggal".

Tulisan ini tidak hendak membahas persoalan bumi Wadas dan apa yang terjadi di dalamnya. Tulisan ini juga tidak berupaya mengkritisi gerakan solidaritas yang bermunculan untuk mendukung Wadas. Tulisan ini adalah refleksi atas pengalaman pribadi saya yang hidup di lingkungan dengan diskursus mengenai lingkunhan yang getol dan menggebu-gebu di luar, tetapi di dalamnya hanyalah sekumpulan orang-orang yang berisik, tak punya empati, pemalas, dan hipokrit dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lantang meneriakkan “Hidup Lingkungan!”. Namun, kelakukan mereka tak sedikit pun mencerminkan perilaku yang menghidupi, merawat, menjaga lingkungan. Bahkan mulai dari lingkungan mereka sendiri.

Ini adalah keresahan saya pribadi. Tak lewat satu hari pun saya temukan sampah berserakan atau abu rokok yang bertebaran di ruang tengah atau kamar-kamar. Di pojok ruangan, gelas yang menyisakan ampas kopi bertumpuk sampai ampas itu mengeras. Di wastafel tempat untuk mencuci perabot dapur tak pernah absen dari piring kotor, gelas bekas, sampah plastik, dan sisa makanan.

Di depan teras rumah, sampah-sampah kerap menumpuk dan berserakan di sepanjang jalan. Sampai-sampai pada suatu pagi, ada seorang ibu yang menegur saya dan berkata: “Mahasiswa sing resik an to, Mas. Kuwi lho sampah e, ora jijik po... “ (Mahasiswa harusnya yang rapi dan bersih, Mas. Itu lho sampahnya [sambil menunjuk sampah]. Apa tidak jijik...).

Hal-hal demikian tidak hanya terjadi satu dua hari, tetapi setiap hari, selama saya menempati kontrakan. Itu sangat mengganggu saya, mungkin juga orang lain yang melihat kenampakannya, mencium baunya, dan segala hal yang tidak mengenakkan lainnya.

Artinya, saya mengambil kesimpulan kalau setiap diskursus mengenai lingkungan yang kerap diadakan akan selalu terasa hambar. Sebab, tindakan adalah manifestasi dari perkataan. Dan perkataan adalah manifestasi dari pikiran.

Belajar tentang lingkungan selalu mengarah bagaimana agar bumi, tempat kita tinggal, bisa bertahan lebih lama dari krisis ekologi. Jika manusia selalu membutuhkan peran alam di dalam hidupnya, maka krisis adalah sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu, siapa pun yang serakah dan mengoyak-ngoyak alam harus dilawan dan siapa pun yang abai terhadap kelestarian alam harus disadarkan.

Walaupun nanti turunan dari ilmu mengenai lingkungan bisa sangat beragam. Namun, tujuan moralnya tetap sama: bagaimana lingkungan hidup di bumi ini menjadi lestari.

Upaya menyadarkan orang lain harus dimulai dengan kesadaran pada diri sendiri. Kesadaran untuk menjaga alam dan kelestarian lingkungan berjalan selaras antara wacana dan gerakan. Banyak berwacana hanya melahirkan sekumpulan orang yang berisik. Sedang gerakan tanpa wacana hanya melahirkan teatrikal sesaat.

Inilah yang kurang. Saya selalu mengingatkan bahwa tempat kita tinggal (kontrakan) merupakan lingkungan hidup. Ada produktivitas ruang di sana. Sudah seharusnya tempat tinggal itu dirawat dan dijaga. Minimal dibersihkan dan tidak terlihat kumal jika tidak bisa memperindah.

Contoh yang baik adalah melalui tindakan, bukan hanya sekadar wacana. Dalam riwayat umat islam, Nabi Muhammad pun memberi suti teladan yang baik dengan perbuatan, seperti sabdanya: shollu kama roaitumuni usolli (salatlah kalian sebagaimana salat saya).

Pada akhirnya, saya akan terus mengingatkan sebaik-baiknya, baik melalui tulisan di kertas-kertas, secara lisan, dan sebagainya. Sekali lagi saya katakan bahwa menyuarakan kelestarian lingkungan harus dimulai dari diri sendiri, kontrakan dan tempat tinggal kita—sekecil apa pun—juga bagian dari lingkungan hidup, dan abai terhadap kelestarian lingkungan adalah bentuk pengkhianatan terhadap keilmuwan, moral, dan agama. Ia menodai ibu bumi. Segala hal yang mencemari lingkungan walaupun itu kecil tidak boleh diabaikan.

Oleh karena itu, jika sudah sadar, yuk bangun. Jangan tidur melulu. Sudahi main HP-nya. Buang abu rokok dengan benar. Cuci perabotan yang kalian pakai untuk makan, minum kopi, bahkan kalian jadikan asbak. Dan satu hal lagi. Kalau kencing jangan lupa disiram. Pesing, cuk!

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet