Ki Hadjar Dewantara dan Dekolonisasi Pendidikan Kita

Abdul Manan
10 min readMay 22, 2022

--

https://www.salamyogyakarta.com/ki-hadjar-dewantara/

Isu pendidikan tak pernah lekang oleh waktu untuk didiskusikan. Pembahasan seputar masalah pendidikan sejak kurun waktu 1970 selalu berkelindan dengan kritik atas kapitalisme dan neoliberalisme. Banyak kajian yang menjelaskan secara gamblang bagaimana pendidikan bertransformasi menjadi pasar. Di dalam perguruan tinggi, kampus dijalankan tidak lebih dari laiknya mesin reproduksi sosial. Perguruan tinggi mempersiapkan calon pekerja yang prima untuk memutar roda ekonomi kapital. Selain itu, neoliberalisme dalam bentuknya yang semakin samar beroperasi melalui upaya pendisiplinan wacana. Tidak heran jika mahasiswa hari ini lebih tertarik dengan kajian kewirausahaan, kajian pra-nikah, dan kajian Suistanable Development Goal’s.

Dalam Merebut (kembali) Ruang Akademik, kampus sebagai ruang produksi pengetahuan telah terkooptasi oleh neoliberal yang bekerja melalui tiga aktor utama: 1) negara 2) kampus 3) mahasiswa. Negara hadir melalui aparatus represif dan apratus ideologis. Pembubaran beberapa diskusi yang diadakan oleh mahasiswa pada medio 2021 kemarin menunjukkan bagaimana buasnya negara dalam menggunakan aparatus represifnya dengan sembarangan. Selain itu, dengan diterbitnya UU ITE — yang sekarang sedang digugat — menimbulkan ketakutan dan menghambat sirkulasi kritik dari warga negara. Sebagai lembaga produksi hpengetahuan, kampus juga tak lebih melakukan tindak yang serupa sebagaimana negara. Kampus dijalankan oleh birokrasi yang dipisah dinding tinggi dengan dinamika mahasiswanya. Aparatus represif kampus bekerja melalui ancaman skorsing dan drop out terhadap suara kritis mahasiswa. Sedangkan aparatus ideologis kampus bekerja melalui jargon-jargon yang terus dijejalkan kepada kepala mahasiswa melalui ilusi kemajuan teknologi, ilusi prestasi, ilusi kemapanan, dan sebagainya.

Nahasnya, pembahasan isu pendidikan kurang intens dibicarakan oleh akademisi kampus secara terbuka dan berkelanjutan hingga menjadi taraf aksiologis. Wacana besar mengenai gender dan lingkungan memang sedang gencar mewarnai ruang diskursus di dalam ruang publik kita. Namun, ada baiknya, isu pendidikan ini juga penting untuk dilihat dan dikontekstualisasikan dengan isu besar lainnya. Pasalnya, kampus adalah tempat pertama bagaimana mobilisasi gerakan mahasiswa dapat tercipta. Sekalipun gerakan mahasiswa dapat tercipta melalui ruang-ruang seperti kedai kopi, burjo, warteg, dan tempat nongkrong lainnya, kampus tetap perlu diperhatikan karena ia menjadi salah satu ruang bagaimana wacana didialogkan.

Ki Hadjar Dewantara pun sangat memperhatikan betul bagaimana kelas menjadi ruang produksi pengetahuan untuk memanusiakan manusia. Bentuk kelas pun diperhatikan. Ruang kelas dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara harusnya dibentuk hanya dengan tiga dinding dengan satu sisi terbuka, bukan empat dinding. Hal itu dapat dimaknai bahwa ruang kelas tidak pernah terpisah dan berkedudukan sama dengan dunia luar.

Sekalipun Ki Hadjar Dewantara pernah berkata kalau setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru, anasir itu mempunyai latar belakang historis yang tidak pernah dijelaskan. Melihat kondisi pendidikan hari ini di Indonesia, sekolah dan perguruan tinggi tak ubah hanya semakin jauh dari filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Di belakang kelas dan beberapa sudut sekolah dulu, kita sering menjumpai anasir Tut Wuri Handayani.

Namun, kita tidak pernah mendapat penjelasan historis dan filosofis bagaimana kata- kata itu tercetus dari Bapak Pendidikan Indonesia. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara pun hanya sedikit dikaji secara serius. Fotonya kerap jadi pajangan semata bersama barisan para pahlawan di dinding-dinding kelas. Padahal, filosofi dan konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara bukan saja berbicara mengenai praktik pendidikan di tempat-tempat pengajaran, Namun, Ki Hadjar Dewantara menjadikan pendidikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Filosofi dan konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara merupakan dekolonisasi Indonesia (pada saat itu Hindia) agar terbebas dari jerat pendidikan kolonial yang berorientasi pada kepentingan penguasa kolonial.

Sekilas tentang Ki Hadjar Dewantara

Namanya sejak kecil adalah Raden Mas Soewardi Suryaningrat, putra pasangan Suryaningrat dan Raden Ayu Sandiyah. Ia lahir pada Jogjakarta, 2 Mei 1889. Ia keturanan bangsawan, Kakaknya bernama Raden Mas Iskandar yang setelah dewasa berganti nama menjadi Suryopranoto. Kakaknya — sang pendiri Paguyuban Selasa Kliwon — itulah yang nantinya menginspirasi Soewardi untuk mendirikan Perguruan Taman Siswa. Soewardi berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara ketika berumur 40 tahun sesuai perhitungan tahun Jawa — sesuatu yang lazim dilakukan masyarakat Jawa.

Semenjak kecil sebelum masuk sekolah ELS, Soewardi hidup dalam didikan sebagai anak bangsawan. Hidupnya selalu dipantau oleh seorang Inang (pengasuh) yang kerap membatasi tindak tanduknya. Sang Inang menegur ketika Soewardi bermain dengan anak kampung. Bibit perlawanan pada diri Soewardi sudah nampak. Baginya, teguran- teguran Inang itu merenggut kebebasannya, termasuk ketika Soewardi hendak menginap di pendopo desa. Soewardi melapor ayahnya dan beruntung sang ayah membiarkannya. Pada suatu ketika, ketika Soewardi kembali dilaporkan oleh Inang, Soewardi menguping pembicaraannya. Dalam buku Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia, Suryaningrat — ayah Soewardi berkata:

“Dengarlah, Inang, setiap makhluk hidup di dunia ini mempunyai naluri hidup bebas merdeka.Perhatikan pohon beringin besar di depan pendopo itu. Dulu, pohon itu kecil dan berasal dari sebuah biji yang sangat kecil sekali. Ketika sekor burung gereja mematuk dan menelan buah beringin sebagai mangsanya, biji buah itu ternyata tidak hancur dan tidak mati.

Biji buah itu utuh dan keluar bersama kotoran burung gereja, terjatuh ke tanah dan menjadi sebatang pohon. Hidupnya tidak lepas dari berbagai rintangan. Tetapi, pojhon itu makin lama makin besar, bahkan menjadi beringin perkasa. Siapa tahu, Soewardi yang dicap sebagai berandal kecil dan selalu menentang segala peraturanmu, kelak akan tumbuh seperti biji beringin tadi. Dan kelak ia bisa menjadi tempat berteduh bagi mereka yang kepanasan tersengat terik matahari.”

Renungan atas apa yang diucapkan ayahnya inilah yang meneguhkan Soewardi bahwa didikan bangsawan amat memenjarakannya. Bahkan, ketika menempuh sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) pun, Soewardi berani berkata kepada ayahnya jika temannya yang dari kampung — Sariman — tidak bisa ikut bersekolah hanya karena keterbatasan biaya, Soewardi hendak mundur dari sekolahnya. Suryaningrat kembali meyakinkan Soewardi untuk tetap melanjutkan pendidikannya di ELS dengan berkata:

“Supaya cita-citamu tercapai, kamu harus bersekolah lebih dahulu. carilah ilmu pengetahuan setinggi-tingginya. Nanti kalau kau sudah pandai, ajarkan kepandaianmu kepada Sariman dan teman-temanmu semua. Dirikanlah sekolah modern yang berkualitas dan kelak akan berguna bagi kepentingan bangsamu. Sekolah modern yang engkau dirikan tentu bisa menolong rakyat yang sangat memerlukan pendidikan.

Barulah Soewardi yakin dengan jalannya. Ia melanjutkan pendidikannya sampai dengan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Di sekolah inilah Soewardi giat untuk menulis catatan kritis dan tajam kepada media massa. Ia melihat bagaimana perlawanan terhadap kebiadaban kolonial dilakukan melalui jalan jurnalistik. Bersama kawannya, ia mendirikan Budi Utomo dan ia berperan sebagai Seksi Propaganda Budi Utomo. Tidak heran, dengan berbagai ulah, ia kerap masuk penjara atas tindakannya dan memengaruhi reputasinya. Soewardi tidak peduli. Setelah keluar dari penjara, Soewardi baru intens mengirimkan tulisan-tulisannya ke media massa yang berisi kritik atas pemerintah kolonial Belanda. Ia rajin mengirim tulisannya ke Middlen Java di Jogjakarta dan De Express di Bandung pimpinan Douwes Dekker. Sampai akhirnya, Soewardi diasingkan ke Belanda karena tulisannya yang membuat pemerintah kolonial Belanda ‘masuk angin’: Alk Is Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een Vor Allen vor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu). Setelah pengasingannya di Belanda, Soewardi kembali ke tanah ke tanah Hindia untuk melanjutkan perjuangannya: mengkonfrontasi kolonialisme lewat jalan pendidikan.

Dekolonisasi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dibangun atas dasar kondisi pendidikan di tanah Hindia yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kepentingan kolonial. Pribumi diperbolehkan untuk sekolah dengan orientasi menjadi tenaga profesional. Tercatat dalam Zaman Bergerak, sejumlah 90% pegawai pemerintah kolonial adalah pribumi yang dididik untuk menjadi tenaga kerja memalui sekolah-sekolah Belanda. Kita mengenalnya sebagai politik etis. Padahal, politik etis sebagai konsep bermakna bahwa pemerintah kolonial menjadi penanggung jawab atas kesejahteraan rakyat bumiputra.

Politik etis bekerja melalui tiga hal: irigasi, emigrasi, dan edukasi. Politik etis sebagai konsep dalam kajian poskolonialisme merupakan bagian dari misi pemberadaban yang dilakukan bangsa Barat atas bangsa Timur. Namun, dalam lintasan sejarah, misi pemberadaban itu pada praktiknya tidak selalu membuat rakyat Timur menjadi sejahtera dan berdaya. Ada upaya untuk menguasai sumber daya alam dan kekayaannya.

Melalui pembentukan Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara membuat kontra narasi atas sistem pendidikan kolonial yang berwatak memerintah, sanksi dan hukuman, profesionalisasi, dan objektifikasi dengan sistem pendidikan yang setara, dan menghormati ke-diri-an manusia. Asumsi dasar yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara dalam sistem pendidikan yang ia terapkan di Perguruan Taman Siswa yaitu, bahwa setiap manusia bebas dan setara. Oleh karena itu, setiap manusia seharusnya mempunyai akses yang sama atas pendidikan, tidak memandang status sosial, kebangsawanan, dan derajat kekayaan apalagi ras. Menghormati ke-diri-an dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara adalah hasil dari penghayatannya terhadap kebebasan dan kesetaraan manusia. Oleh karena manusia bebas, maka ia bebas untuk terus mengada (being) sebagai subjek yang unik, sehingga pendidikan harus dibangun tanpa upaya mendominasi satu manusia atas manusia yang lain. Perguruan Taman Siswa bukanlah penganut kebebasan sebagaimana konsepsi Barat yang erat dengan wacana liberalisme. Kebebasan yang terinternalisasi dalam Perguruan Taman Siswa berlandaskan pada kebudayaan sendiri. Bahwa ekspresi kebebasan perlu digali dari nilai-nilai luhur yang hidup dalam kebudayaan pribumi. Oleh karenanya, Ki Hadjar Dewantara mewanti-wanti murid-muridnya, baik laki-laki maupun perempuan agar tidak terlalu terburu-buru dan terpesona dalam menginternalisasi pengetahuan Barat.

Hal itu tercermin dalam hubungan antara guru dan siswa di dalam Perguruan Taman Siswa. Hubungan guru dan siswa yang setara tercermin dalam Sistem Among (membimbing anak didik dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan mereka, sehingga bisa berkembang menurut kodrat dan ke-diri-annya; orang mengenalnya dengan konsep asih, asah, asuh) bersendikan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha (guru seyogyanya menjadi teladan di depan), Ing Madya Mangun Karsa (guru mengikuti murid dari belakang dengan memberikan dorongan, bimbingan, perhatian, dan pertolongan bila perlu), dan Tut Wuri Handayani (guru mendorong para siswa agar hendaknya membiasakan berdisiplin dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri untuk mencari pengetahuan dan belajar sendiri). Ki Hadjar juga mengemukakan ajaran Tripusat (keluarga, perguruan, organisasi pemuda dan kemasyarakatan) sebagai pengakuan atas pusat-pusat pendidikan dan Trikon (kontinuitas, konsentris, dan konvergensi) sebagai usaha pembinaann kebudayaan nasional dan pembinaan karakter bangsa.

Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya prinsip hidup zelfbedruishing systeem (berdikari), hidup semata-mata dari iuran para murid. Bantuan yang tidak mengikat dapat diterima. Secara filosofis, berdikari dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara adalah upaya menolak ketergantungan di mana sifat ketergantungan adalah mengikat. Dengan sifatnya yang mengikat itu, kebebasan tidak lagi bernyawa. Dalam konteks Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara menolak pemberlakuan status hukum dan makanisme pendanaan dari pemerintah kolonial.

Gagasan Nasionalistik Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa arena pembebasan manusia Indonesia dari kolonialisme bukan hanya melalui jalur poltiik, tetapi juga pendidikan. Melalui Perguruan Taman Siswa, sekali lagi Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya memijakkan pendidikan pada kebudayaan sendiri, mempelajari kebudayaan dan menginternalisasi nilainya. Di dalam Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga mengingatkan akan nasionalisme, pentingnya kecintaan pada Tanah Air (bukan pemerintah). Nasionalisme di tubuh Taman Siswa adalah nasionalisme kultural yang selaras dengan kebutuhan masyarakat. Maka, pendidikan kebangsaan diberikan melalui pelajaran etika, sejarah, kebudayaan, bahasa, kesenian, dan kepemudaan (bukan baris-berbaris apalagi bela negara).

Nasionalisme yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara mewujud melalui ajaran Trikon, bahwa pembinaan kebudayaan nasional dijalankan dalam prinsip kontinuitas, bahwa perkembangan kebudayaan adalah sesuatu yang terus berjalan sesuai kehidupan bangsa di mana kebudayaan itu hidup. Ia senantiasa menerima pengaruh nilai-nilai baru dan dinamis. Nasionalisme adalah gagasan yang dibayangkan ke depan sebagai bangsa yang terus ‘menjadi’. Bukan romantisasi masa lalu yang kerap diagung-agungkan kejayaannya.

Karena perkembangan kebudayaan itu bersifat kontinu dan terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, maka berlakulah ajaran konsentris. Dalam pengembangan kebudayaan nasional, prosesnya harus dilandasai pada sikap terbuka, namun kritis dan selektif. Nasionalisme diucapkan secara argumentatif, bukan semata penghayatan pada simbol- simbol semata.

Bahwa perkembangan kebudayaan dan karakter bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, maka berlakulah ajaran konvergensi yang memandang bahwa perkembangan kebudayaan dan karakter bangsa, merupakan upaya yang dilakukan bersama dengan bangsa lain. Nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari gagasan internasionalisme. Jika nasionalisme merupakan antitesis dari kolonialisme, maka segala bentuk penjajahan tidak bisa dibenarkan atas alasan apa pun. Dan jika kemerdekaan adalah hak ‘anak semua bangsa’, ia berlaku untuk keseluruhan yang hidup di ‘bumi manusia’. Dengan kata lain, dasar dari perkembangan kebudayaan dan pembinaan karakter bangsa adalah satu, kemanusiaan.

Bergeraklah Mahasiswa

Apakah pemikiran Ki Hadjar Dewantara masih relevan? Tentu saja. ial ah peletak dasar pendidikan yang memanusiakan manusia semenjak dini di Indonesia. Sebagaimana Freire, Rabintranath Tagore, dan Sartre, Ki Hadjar Dewantara turut menggugat objektifikasi satu manusia atas manusia lain. Freire mengkritik sistem pendidikan gaya bank yang menempatkan siswa sebagai objek kosong yang harus diisi. Tagore mengkritik dua sisi dominasi kolonialisme Eropa dan nasionalisme cacat India. Sartre menghormati eksistensialisme diri sebagi subjek yang terus mengada (being).

Pendidikan hari ini seakan terbelenggu oleh dominasi pasar atas negara, kampus, dan mahasiswa. Negara terpesona dengan ekonomi global untuk terus menggenjot investasi dan membuat kebijakan kampus untuk turut serta di dalamnya secara serampangan.

Kampus pun tak kalah terpesonanya. Mereka berlomba-lomba menjadi kampus PTN-BH dengan ilusi kemandirian dan terperdaya ekstasi kampus kelas dunia. Mahasiswa apalagi, wacana pembangunan berkelanjutan, godaan menjajal kampus luar melalui konferensi, pertukaran dan sejenisnya, serta program magang di perusahaan ternama, secara keroyokan menjauhkan diri mahasiswa pada kondisi sekitar baik manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, upaya dekolonisasi atas neo-kolonialisme dalam wujud rezim wacana hari ini perlu dimulai melalui ruang publik (public sphere) yang organik, tidak terkooptasi oleh kepentingan dan kekuasaan.

Gerakan mahasiswa hari ini cukup memprihatinkan dengan beragam aksi yang cenderung reaksioner, terpolarisasi, dan tidak punya agenda jangka panjang. Hari Pendidikan Nasional, kita aksi tentang pendidikan. Hari Buruh kita aksi terkait buruh. Hari Bumi kita aksi tentang lingkungan. Ada baiknya, refleksi atas ideologi dan agenda gerakan mahasiswa perlu dilakukan, mengingat begitu gencarnya penetrasi kapital dalam sendi-sendi kehidupan. Bahwa kemudian aksi protes tetap perlu dilakukan, ia bukanlah garis final. Ia merupakan bentuk perlawanan untuk mengingatkan kekuasaan bahwa mahasiswa tidak diam.

Oleh karena itu, pengorganisasian massa mulai dari lingkungan sendiri — dalam hal ini mahasiswa — perlu digalakkan dengan menebar wacana yang mengkonfrontasi narasi kekuasaan. Selain itu, gerakan masyarakat sipil bukan hanya mahasiswa. Ada buruh, pelajar, nelayan, petani, pekerja mitra start-up, guru honorer, jurnalis, dan seluruh manusia dengan ekspresi ketertindasannya. Berdialog dan mengajak mereka untuk turut serta dalam gerakan merupakan bagian dari kerja pengorganisasian. Jangan sampai gerakan mahasiswa hari ini hanya buas terhadap kebijakan entitas kekuasaan yang lebih besar — dalam hal ini negara, tetapi melempem di hadapan kebijakan kampusnya sendiri.

Daftar Bacaan

Haekal, Luthfian & Shalahuddin, Ahmad. (2020). Merebut (kembali)Ruang Akademik: Penetrasi Neoliberalisme dan “Institusi Kekuasaan” terhadap Kebebasan Akademik di Kampus . Yogyakarta: Akademi Amartya Sen dan Social Movement Institute.

Sartre, J. P. (2015). Being and nothingness. Central Works of Philosophy v4: Twentieth Century: Moore to Popper, 4, 155.

Wijaya, Pungkit. (2018). Seri Pahlawan Nasional: Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia. Bandung: Nuansa Cendekia.

Shiraishi, T., & Farid, H. (1997). Zaman bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan Forum.

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet