Membaca Tiga Cerpen Dea Anugrah

Abdul Manan
4 min readOct 6, 2024

--

Sumber: Unsplash

Dalam masa pemulihan selepas laka, aku banyak menghabiskan waktu untuk banyak membaca, mulai dari cerita pendek, esai, puisi, novel, komik, karangan ilmiah atau apa pun yang membuatku tertarik. Namun, lama kelamaan membaca seperti hanyalah membaca. Dan keinginanku bukan hanya sekadar tahu. Setiap pembaca karangan yang baik tahu apa kemauan dari pembaca yang baik lainnya.

Dan aku memulainya (lebih tepat dikatakan merutinkan) mengulas tipis-tipis. Biasanya, perihal ulasan atas suatu bacaan paling banyak aku bagikan pada kawan sebaya. Seminimalnya, apa yang aku baca dan bagiku itu menarik, orang lain perlu mengetahuinya. Aku berbagi tautan dengan berbagai kawan, termasuk orang-orang terdekat. Sesekali kami membahasnya pada bagian-bagian tertentu atau sekadar membaca maing-masing.

Dea Anugrah. Salah satu penulis yang membuatku megerahkan diri untuk mengumpulkan karyanya. Dan beberapa diantaranya tidak pernah sekalipun kurasai bosan dalam membacanya. Kisah dan Pedoman; Kisah Sedih Kontemporer; dan Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada adalah tiga cerpen yang kubaca dari situs ruangsastra.com. Situs yang memuat berbagai kumpulan cerpen dari berbagai penulis dan berbagai media.

Pada mulanya, aku menemukan satu dari judul tersebut di sebuah blog yang mengumpulkan karya dari berbagai penulis cerpen dari Koran Tempo. Dea Anugrah salah satunya. Namun, aku mengurungkan niat untuk membacanya. Dalam pengantar blognya si pengelola menulis bahwa cerpen yang dimuat itu tanpa seizin dari koran. Pada umumnya orang tahu, kebanyakan hal yang “tak berizin” selalu mendatangkan persoalan di kemudian hari.

Yang menarik dari cerpen-cerpen Dea Anugrah adalah rujukan dan budaya populer yang ia gunakan. Jujur saja, aku tidak perlu bolak-balik dari satu situs ke situs lain hanya untuk mencari arti dari sebuah kata atau budaya populer yang ditampilkan. Aktivitas bermedia sosial, percakapan-percakapan antar teman, ingatan-ingatan masa lalu selalu ia tempatkan di dalam porsi di mana orang bisa membayangkannya tanpa harus mengernyitkan dahi. Misalnya, dalam cerpen Kisah Sedih kontemporer, ada pelbagai tebaran aktivitas seperti bermain Facebook, saling berkirim tautan, dan perasaan-perasaan setelah menonton sebuah tayangan. Dea menggambarkannya dengan begitu apik.

Rujukan-rujukan yang ia gunakan juga tidak asal-asalan. Dari Dea, aku belajar bagaimana menggunakan rujukan seperti tontonan atau buku sebagai bagian yang turut membangun cerita. Seperti dalam cerpen Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada. Dea menggunakan rujukan tentang déjà vu, atau peristiwa yang dalam cerpennya ia sebut sebagai gempa waktu. Aku mencoba menceri rujukannya. Dan ternyata tak ada buku yang menjelaskan itu. Aku tidak tahu, mungkin ia merujuk Kurt Vonnegut dan karakter Kilgore Trout yang ia buat. Ia menggambarkan gempa waktu sebagai peristiwa pengulangan kembali pada ingatan-ingatan yang pernah dialami oleh tokoh “aku” dan “Kau”.

Setidaknya, dua hal itu yang membikin cerpen Dea ini enak dibaca, juga susunan kalimatnya yang pendek-pendek dan tidak monoton.

Dalam Kisah dan Pedoman, Dea menjelma menjadi tukang karpet yang menjadi pencerita di dalam cerita. Tukang Karpet itu — entahlah apa motifnya — bercerita tentang suatu kisah masa silam kepada pemuda pemalas yang mengidap epilepsi dan “impian muluk”. Si tukang karpet bercerita tentang sebuah kota pelabuhan yang terbentuk karena satu orang paruh baya yang memiliki kebiasaan untuk berak di tepi pantai, di atas batu besar, yang tiap malam Sabat — sebuah malam yang dikhususkan untuk beribadah kepada Tuhan — ia dapati banyak ikan yang melimpah. Orang itu memberitahu para nelayan. Lalu, oang-orang di sana terbagi jadi dua: penghormat Sabat yang taat dan penangkap ikan penuh waktu. Satu terkenal dengan kuil-kuil yang megah. Satu terkenal dengan orang-orang yang elok dan mewah. Dari cerita si tukang karpet, pemuda itu belajar sesuatu. Entahlah belajar apa, kata Dea, pemuda itu menjadikan cerita si tukang karpet menjadi pedomannya. Namun, si pemuda keburu tepar karena epilepsinya.

Ada dua fragmen cerpen dalam cerpen Kisah Sedih Kontemporer. Pertama, Rik yang mencintai kekasihnya. Mereka adalah pasangan cinta yang menandai simbol cintanya dengan goresan luka di tangan masing-masing. Naas, kasihnya itu pergi berselang tiga hari setelah prosesi pembuatan simbol cinta. Tak disangka, dia pergi ke Australia dan bercinta dengan pembawa acara Jelajah Alam yang paruh baya dan kuning giginya. Kedua, Loko dan kisah hidupnya yang dipenuhi dengan derita, tapi itu yang membuatnya memiliki banyak cerita, termasuk bisa meniduri 13 orang perempuan. Ia sudah kebal dan tak acuh terhadap apa saja yang memiliki kemungkinan untuk membunuhnya, kecuali perempuan. Iya, ia menjadi suka dan benci terhadap sesuatu karena perempuan. Itu saja.

Aku memang tidak terbiasa membaca cerita pendek dengan fragmen-fragmen seperti itu.

Yang terbaik dari ketiganya adalah Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada. Banyak komentar yang bilang kalau ini adalah tentang mencintai orang tua. Ada benarnya, tetapi bagiku bukan hanya itu. Ada semacam trauma masa lalu yang sedang Dea perlihatkan melalui tokoh “Kau”. Penggambarannya tentang gempa waktu menjadi latar yang epik. Bagian yang paling mengasyikkan dari membaca cerpen ini adalah pengulangan bentuk dari suatu adegan dalam kalimat-kalimat yang seolah sama, padahal punya maksud dan fungsi dan berbeda. Mungkin hal itu adalah teknik umum bagi pengarang-pengarang kaliber Indonesia. Tentu itu juga berdasarkan hasil bacaan dan pengalamannya yang luas. Tidak mudah untuk membuatnya. Atau mungkin aku yang terlalu berlebihan.

Iya. Perihal membaca dan menulis memang bukan perkara yang mudah. Setidaknya, sejauh cerpen-cerpen yang kubaca.

Hanya ada masalah kecil pada cerpen-cerpen Dea. Kadang aku merasa perlu membaca ulang untuk benar-benar paham alurnya, agar kalimat demi kalimat tidak membawaku pada petaka kantuk. Iya, aku salah. Itu bukan masalah Dea, tapi masalahku sendiri. Perihal membaca memang bukan perkara yang mudah. Setidaknya, sejauh cerpen-cerpen yang kubaca.

Tegal, 6/10/2024

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet