Novelis yang Dikejar “Harimau”

Abdul Manan
3 min readApr 22, 2024

--

Buku ini adalah buku yang saya pinjam dari seseorang. Ia membelinya di toko buku bekas di dekat Taman Pintar Jogjakarta. Ini adalah buku yang ia cari-cari sejak lama. Dan ia memutuskan untuk membiarkan saya membawanya terlebih dahulu sebelum ia membaca. Saya agak lumayan tertatih tagih dalam membacanya. Memang, kata orang, permulaan adalah segalanya. Dan benar, saya sampai membaca tiga kali pada bagian pertama, hanya sekadar untuk sedikit memahami karakter dari masing-masing tokoh yang Mochtar Lubis gambarkan di awal cerita.

Begini.

Pak Balam, Sanip, Buyung, Sutan, Talib, dan Pak Haji yang dipimpin Wak Katok adalah pengumpul damar di hutan dari Kampung Air Jernih. Selepas dua minggu beristirahat di gubuk Wak Hitam yang ada di dalam hutan, mereka memutuskan untuk pulang. Namun, dalam perjalanannya, mereka harus mati satu persatu saat berhadapan dengan perburuan harimau tua yang ganas nan cerdik. Segala rupa cara dilakukan untuk memburu harimau itu. Dan segala rupa cara yang mereka lakukan itu gagal. Nyawa menjadi taruhannya. Pak Balam menjadi korban pertama dari terkaman harimau itu. Dan pada akhirnya, Buyung dan Sanip lah yang mengetahui akar masalah yang dihadapi mereka.

Pada mulanya, mereka bertanya-tanya apakah binatang itu harimau jadi-jadian atau harimau sungguhan. Pertanyaan itu yang membuat mereka mengalami pergolakan di dalam diri mereka masing-masing. Bingung, bimbang, depresi, takut, dan perasaan bersalah mewarnai perjalanan mereka untuk menentukan siapa yang jadi pemburu dan siapa yang diburu. Pak Balam begitu depresi dengan terkaman yang menimpa dirinya. Dengan darah yang terus mengucur sembari menanti kematiannya sendiri, ia selalu mengingatkan kepada kawannya yang lain untuk mengakui dosa-dosa mereka. Jangan-jangan ini harimau yang mereka hadapi adalah harimau utusan Tuhan untuk menghukum mereka di dunia. Siapa yang mau menurut Pak Balam dan mengakui dosanya?

Mochtar Lubis benar-benar membangun latar yang mau enggak mau memaksa pembaca untuk masuk ke dalam dunianya. Dan memang seharusnya seorang pencerita yang baik begitu. Mochtar Lubis sepertinya ingin membuat pembaca berlarut dalam lanskap kehidupan orang-orang zaman dahulu yang memegang teguh kepercayaan luhur yang turun temurun, hadirnya orang sakti, dan kekuatan-kekuatan adikodrati dalam diri manusia. Tak heran jika Pak Balam dan kawan-kawan mempertanyakan eksistensi harimau itu.

“Cukup baca sampul di belakang buku dan kau sudah tahu isi keseluruhan cerita.”

Kiranya, satu kalimat itu yang terpikirkan setelah berhari-hari membaca Harimau!Harimau! Pada mulanya, saya tak begitu berhasrat untuk menulis ulasan atas novel itu. Pasalnya, setelah selesai membaca, saya coba melihat ulasan orang lain atas novel yang saya baca ini. Dan semuanya mengecewakan. Dan tidak seharusnya saya melakukan itu. Itu barangkali akan mengacaukan kesan yang terbangun di kepala saya.

Selain itu, Sutan, Sanip, dan Talib sebagai bagian dari ketujuh pengumpul damar tidak diperlakukan secara manusiawi oleh penulis. Mereka hanya dijadikan sebagai objek terkaman harimau, seolah-olah kehadiran mereka hanya untuk membuat cerita terkesan mencekam dan menakutkan. Bahkan, hanya secuil saja Mochtar Lubis menggambarkan siapa mereka bertiga. Sanip, Sutan, dan Talib perlu mendapat ruang untuk mengekspresikan pergolakan batinnya.

Sepertinya, Mochtar Lubis begitu dikejar-kejar untuk bagaimana caranya menyampaikan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. “Bunuhlah dahulu harimau di dalam dirimu!” Kira-kira mungkin itu yang ingin dia sampaikan. Namun, keterburuannya itu membuatnya luput untuk memanusiakan tokoh dan karakternya. Dan sepertinya, orang yang kali pertama perlu untuk mendapat pesan itu adalah Mochtar Lubis sendiri.

Semarang, 22 April 2024

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet