Pelik Konflik di Lahan Tebu

Abdul Manan
9 min readApr 11, 2022

--

Di atas tanah seluas 12 ribu hektar, saya dan Iman (45) menziarahi sebuah makam. Namanya Makam Bujang. Lokasinya berada di blok Makam Bujang, Desa Sukamulya, Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu. Menurut Iman, adanya makam ini menjadi bukti bahwa lahan ini punya sejarah. Makam itu berada di atas lahan tebu, lahan yang diklaim kepemilikannya oleh Perseroan Terbatas Pabrik Gula Rajawali II Jatitujuh (PG Rajawali II).

Lahan tersebut menjadi tempat konflik antara petani desa penyangga — desa yang mengelilingi lahan tebu — dengan PG Rajawali II. Lahan yang diklaim meliputi 22 desa di 2 kabupaten: 11 desa di Indramayu dan 11 desa di Majalengka. Kelompok petani padi mempertanyakan status kepemilikan tanah dari PG Rajawali II. Dengan kejelasan yang tak kunjung didapat, petani mulai menanam padi di lahan yang diklaim PG Rajawali II semenjak tahun 2014. Di Indramayu, lahan yang diklaim PG Rajawali II mencapai 6800 Ha. Berdasarkan penuturan warga Sukamulya, sejumlah 4000 Ha sudah dikuasai oleh petani padi. Konflik di area lahan PG Rajawali II bukanlah hal baru.

Konflik terus berlalu bertahun-tahun. Tewasnya dua orang petani di perbatasan Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Indramayu pada medio Oktober 2021 membuat konflik lahan PG Rajawali II naik kembali. Dalam Spi.org, program kemitraan yang dilaksanakan oleh PG Rajawali II menjadi akar permasalahan. Pasalnya, lahan yang diklaim milik PG Rajawali II diduga tidak mempunyai sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini lah yang menjadi akar dari konflik agraria di atas PG Rajawali II.

Sejarah Penguasaan Tanah

PG Rajawali II merupakan anak perusahaan dari Perseroan Terbatas (PT) Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunana ini merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kementerian BUMN. pG Rajawali II berdiri pada tahun 1975 dengan nama Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) XIV yang memproduksi tebu dan mendirikan pabrik gula.

Pada tahun 1979, PTP XIV mengajukan sertifikat HGU kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, karena lahan yang dimaksud merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanana, PTP XIV harus melakukan tukar guling lahan untuk mencari lahan pengganti kawasan hutan. Lokasinya harus beradi di Provinsi Jawa Barat dengan luas yang sama sebagaimana yang diajukan. Kementerian Pertanian melalui Surat Keputuasan (SK) Mentan №481/Kpts/Um/8/79 tanggal 9 Agustus 1979 pada prinipnya menyetujui permohonan izin PTP XIV dengan mencari lahan pengganti dengan jangka waktu 10 tahun. Namun, lahan pengganti tak kunjung didapatkan. Hingga pabrik itu berdiri, PTP XIV belum bisa mencari lahan pengganti. Bahkan sampai habis masa HGU selama 25 tahun.

Dalam amar putusan MA Putusan №311/Pdt/2015/PT.BDG, PTP XIV mengganti namanya menjadi PG Rajawali II Jatitujuh melalui pengalihan saham. PTP XIV berubah nama menjadi PG Rajawali II. Pada tahun 2004, masa sertifikat HGU sudah habis. Kemudian PG Rajawali II mengajukan perpanjangan izin HGU kepada BPN. Sekali lagi, karena PG lahan yang dimaksud dulunya adalah kawasan hutan, PG Rajawali II harus mencari lahan pengganti dengan luas yang sama: 12.000 Ha. Melalui Surat Kementerian (SK) Kementerian Kehutanan No. S.410/Menhut-VII/2004, Menteri Kehutanan pada prinsipnya menyetujui permohonan perpanjangan masa HGU dengan syarat mencari lahan pengganti dengan luasan yang sama paling lambat 10 tahun, terhitung sejak 1 Januari 2004 sampai dengan 30 Desember 2014.

Namun, sebagaimana proses perizinan HGU yang pertama, PG Rajawali II belum mendapatkan lahan pengganti untuk dijadikan kawasan hutan sampai batas waktu yang ditentukan. Pada tahun yang sama, petani yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan (F-KAMIS) mulai mengokupasi lahan yang diklaim milik PG Rajawali II. Bahkan, F-KAMIS sampai membawa perkara ini ke pengadilam dan memenangkannya pada tingkat peninjauan kembali. PG Rajawali II dinyatakan melanggar hukum. Namun, bukannya mendapat lahan, F-KAMIS justru malah meminta ganti rugi dalam bentuk uang. Ini yang disebut masyarakat sebagai blunder F-KAMIS.

Selain itu, menurut penuturan warga dan beberapa catatan Serikat Petani Indoneia (SPI), bukannya menggunakan lahan yang telah direbutkan untuk bertani, kelompok F-KAMIS malah menjualnya ke orang luar yang bukan berasal dari Indramayu. Oleh karena itu, F-KAMIS kerap berkonflik dengan petani tebu (petani mitra PG Rajawali II) dan PG Rajawali II itu sendiri. Semenjak 2014, F-KAMIS melaui mengokupasi lahan garapan PG Rajawali II. Akibatnya, petani yang tergabung dalam F-KAMIS yang merupakan penduduk asli Indramayu tidak mendapat lahan garapan. Pada akhrnya, F-KAMIS dibubarkan karena dianggap telah memenuhi tujuan. Namun, perjalanan untuk mengungkap status kepemilikan tanah PG Rajawali II rerus berlanjut.

Karena PG Rajawali dianggap belum mempunyai HGU, petani padi di beberapa desa penyangga terus menggarap lahan yang diklaim milik PG dengan menanam padi. Mereka berkata, “Jika kami memang benar-benar menyerobot lahan, buktikan di pengadilan. Faktanya, semenjak 2014 kami tidak pernah ditangkap atas dasar penyerobotan lahan. Delik di pengadilan adalah perusakan tanaman.”

Selain karena status HGU yang belum jelas, petani padi sudah menanam di lahan yang diklaim milik PG Rajawali II bahkan ebelum parik itu berdiri, dalam catatan kami, lahan seluas 12.000 Ha tersebut dulunya adalah kawasan hutan. Di dalamnya terdapat berbagai masyrakat dengan beragam mata pencaharian. Para petani menggarap lahan di tanah Titisara, tanah yang khusus untuk bertani. Para peternak menggembala hewan ternaknya di tanah pangonan atau tanah gembala. Sedangkan permukiman dan pusat pemerintahan berada di tanah Bengkok. Ditemukannya Makam Bujang juga menjadi bukti kalau lahan tersebut pernah ditempati oleh masyarakat. Mereka adalah pengumpul kayu dan pengambil manfaat dari hutan.

Kemitraan

Pada tahun 2018, PG Rajawali II melaksanakan program kemitraan dengan petani desa penyangga. Program tersebut adalah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit BPK terhadap keuangan PG Rajawali II Jatitujuh membeberkan beberapa masalah. Sehingga, BPK melihat poteni kerugian yang dapat mengancam keberlanjutan PG Rajawali II.

Beberapa masalah yang ditemukan BPK antara lain: 1) Denda keterlambatan yang belum dikenakan sebesar Rp1.122.500.000,00 dan penggantian kehilangan alat belum diterima sebesar Rp339.992.300,00. Denda dan penggantian alat itu ditujukan kepada rekanan PG yaitu PT Berdon dan PT Kinarya Legenda Abadi (KLA); 2) Produksi gula pada tahun 2015–2017 tidak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) mengakibatkan adanya biaya reproses sebesar Rp5.001.120.473,00 yang memboroskan perusahaan; 3) Program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN pada PT PG Rajawali II berpotensi menimbulkan piutang macet minimal sebesar Rp9.694.847.577,33; 4) Penjarahan lahan seluas 4.209,68 Hektar pada Pabrik Gula Jatitujuh (PGJT) memboroskan keuangan Perusahaan sebesar Rp125.775.989.741,32 atas Biaya Pemeliharaan dan Pengamanan yang telah dikeluarkan; 5) Kredit Modal Kerja PT Pabrik Gula Rajawali II Tahun 2013 pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebesar Rp450.000.000.000,00 sampai dengan Semester I Tahun 2018 belum dapat dilunasi; dan 6) Kebijakan penetapan harga jual gula Tahun 2018 oleh Pemerintah mengakibatkan penawaran pembelian gula yang diterima PT PG Rajawali II mengalami penurunan dan menimbulkan persediaan gula di gudang per 31 Agustus 2018 sebanyak 17.606,59 Ton.

Dengan beragam masalah tersebut, PG Rajawali II mengikuti rekomendasi BPK. Kemitraan yang dilaksanakan oleh PG Rajawali II melibatkan beberapa pihak, seperti kuwu (kepala desa), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), kelompok tani, dan petani. Program itu bertujuan untuk memproduksi tebu. Kemitraan diatur melalui urat perjanjian yang harus ditandatangani bersama oleh para pihak yang terlibat.

Semenjak kemitraan itu dilaksanakan, beragam masalah muncul. Petani dianggap menjadi pihak yang paling dirugikan. Skema kemitraan yang dibangun cenderung memberikan keuntungan kepada PG Rajawali II, aparat desa (BUMDes dan kuwu), dan ketua kelompok tani.

Secara ringkas, kemitraan dilaksanakan dengan memberi pinjaman modal kepada petani untuk menggarap lahan tebu. Selama proses pengarapan sampai dnegan panen, semua dana dan keperluan untuk bertani disediakan oleh PG Rajawali II yang disalurkan melalui BUMDes atau kelompok tani. Setelah panen, petani menjual hail panennya kepada PG Rajawali II. Menurut penuturan warga, dana hasil panen dapat dicairkan ketika penjualan gula sudah laku. Setelah mendapatkan uang, petani harus melunasi hutangnya kepada bank yang memberi pinjaman modal melalui PG Rajawali II. Skema tersebut dianggap bermasalah, baik secara formil maupun materiil.

Pemaksaan dan Segudang Masalah Kemitraan

Di dalam pelaksanaannya, beberapa petani megaku mendapat paksaan untuk bermitra. Saya bertemu dengan Yanto (35). Ia adalah petani mitra tebu yang sudah berjalan selama tiga bulan. Yanto mengaku bahwa ia mendapatkan pemaksaan dari kepala desa. Itu terjadi pada Januari 2022. Yanto diancam bahwa lahannya akan digarap orang lain (petani mitra tebu baru) jika ia tidak ikut kemitraan. Daripada kehilangan lahan, Yanto memilih untuk bermitra. Namun, Yanto tidak pernah menandatangani surat perjanjian kemitraan. Padahal di Desa Sukamulya, BUMDes belum terbentuk program kemitraan secara administratif. Yanto hanya diminta untuk mengumpulkan salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), surat nikah dan NPWP. Yanto tidak mengumpulkan Surat Keterangan Usaha (SKU) sebagaimana yang disyaratkan dalam surat perjanjian. Menurutnya, untuk membuat SKUia harus membayar uang sejumlah Rp250.000. Yanto menolak. “Itu pungli [pungutan liar],” kata Yanto.

Selain itu, menurut Yanto, dalam proses pencairan dana pinjaman juga terjadi beberapa masalah. Sebelum dana pinjaman cair, Yanto telah mendapat bibit yang harus ia bayar langsung sebesar Rp1.100.000. Yanto harus menggunakan uangnya dahulu karena dana pinjaman belum cair. Pada waktu penanaman, dana perawatan tebu acap terlambat turun. Yanto kembali menggunakan uangnya sendiri. Tebu terlambat dipupuk. Bukan hanya keterlambatan pencairan dana, Yanto juga mendapati kalau pupuk yang harusnya disediakan PG Rajawali II melalui kelompok tani sudah tidak ada. Akhirnya, Yanto harus membeli pupuk sendiri di tempat lain. Sampai dengan laporan ini ditulis, Yanto telah mengeluarkan biaya sebesar Rp4.000.000. “ Dana dari PG belum cair sepeser pun,” ungkap Yanto.

Cerita lain datang dari Desa Amis, Kecamatan Cikedung. Warga di sana masih menanam padi. Kekerasan terhadap petani padi acap terjadi. Pasca tewasnya dua orang petani pada Oktober 2021, aparat kepolisian kerap berjaga di atas lahan. Petani tidak boleh keluar malam untuk pergi ke lahan. Subur (35) dan Shohib (45) pernah dibawa ke Polisi Resor (Polres) Indramayu. Mereka diinterogasi. Shohib mengaku kalau dirinya dibekam dengan menggunakan plastik sebelum diinterogasi. Dua hari mereka berada di Polres. Subur hanya satu hari berada di Polres. Namun, ketika kembali, ia mendapati pohon mangga yang ia tanam sudah hangus menyisakan arang.

Melihat Surat Perjanjian

Di dalam surat perjanjian, masing-masing pihak diberi hak dan kewajiban di dalam pelaksanaan program kemitraan. Di dalam kaitannya dengan aliran uang, pihak pertama dalam surat perjanjian, dalam hal ini PG Rajawali II mempunyai beberapa wewenang: mewajibkan petani menggiling tebunya pada PG, menjadi penjamin atas lahannya, melarang petani menjual tebunya ke pihak lain selain PG, megambil alih lahan jika petani atau kelompok tani melakukan pelanggaran, menentukan tebu petani layak giling atau tidak, menentukan teknis tebang angkut pada tebu yang digarap petani, menetapkan harga konpensasi lahan garapan, menetapkan harga tebu yang digarap petani, menentukan harga bibit, dan menentukan harga pupuk.

Sedangkan petani memiliki beberapa kewajiban: membayar biaya adminitrasi konpensasi pengelolaan lahan sebesar 2.5% persen dari nilai konpensasi pengelolaan lahan kepada desa dan kecamatan, membayar insentif pengawasan sebesar Rp300/Kuintal kepada kelompok tani, menjual seluruh tebu kepada PG Rajawali II, melunasi dana pinjaman dari bank beserta bunganya sebesar 6% per tahun, mengembalikan lahan kepada PG Rajawali II, membayar fee kapada BUMDes sebesar Rp100/kuintal, membayar biaya pengaman sebesar Rp150/kuintal kepada kuwu.

Melihat kredit yang dipinjamkan kepada petani, keseluruhan biaya yang ditetapkan hanya diperuntukkan untuk penanaman dan perawatan tebu. Kredit yang tertera adalah kompensasi pengelolaan lahan, pupuk, biaya garap, hama penyakit, bibit, dan ongkos tebang angkut. Jika masa tanam tebu berkisar antara 8–12 bulan, petani akan mendapatkan hasil dari tebunya setelah satu tahun. Di dalam kredit yang dipinjamkan kepada petani, tidak memuat biaya untuk kebutuhan sehari-hari petani. Artinya, selama hampir setahun, petani tidak mendapatkan hasil dari lahan yang ia garap. Oleh karena itu, mereka mencari sampingan dengan bekerja menjadi buruh tani di lahan petani mitra yang lain atau mengandalkan usaha lain. Yanto memnuhi kebutuhan sehari-harinya dari istrinya yang bekerja sebagaii Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

***

Peliknya konflik di lahan yang diklaim milik PG Rajawali II akan semakin merugikan petani. Melalui skema kemitraan yang dibentuk dalam surat perjanjian, petani tebu diharuskan untuk membayar banyaknya potongan biaya kepada para pihak lain. Kedudukan petani hanya sebagai penggarap dan penerima hasil setelah melalui beberapa potongan.

Jika melihat surat perjanjian, tidak heran petani mempertanyakan status kepemilikan tanah yang dikalim PG Rajawali II ber-HGU. Pasalnya, di dalam surat perjanjian lahan yang digarap petani harus lah lahan yang mempunyai sertifikat HGU. Jika lahan yang diklaim PG Rajawali II tidak ber-HGU, automatis perjanjian kemitraan tidak dapat dilaksanakan.

Melihat Ringkasan yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas hasil audit BPK terhadap BUMN bidang perkebunan, PG Rajawali II hanya mengantongi persetujuan prinsip dengan mencari lahan pengganti seluas 12.000 Ha. Jika PG Rajawali II tidak mampu mencari lahan pengganti dalam batas waktu yang ditentukan, segala kegiatan operasional PG Rawajali II dianggap ilegal, termasuk program kemitraan yang dijalankannya selama ini.

*)Tulisan ini adalah naskah laporan hasil invetigasi lapangan yang dibuat dalam tulisan populer dalam kegiatan Sekolah Paralegal Hukum Agraria yang diselenggarakan oleh Salam Institute, Cirebon, 18–30 Maret 2022.

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet