Ramai-Ramai Membajak Demokrasi

Abdul Manan
6 min readApr 11, 2022

--

https://monitorindonesia.com/wp-content/uploads/2022/03/IMG-20220313-WA0199.jpg

Elite politik Indonesia sedang ramai membincangkan penundaan pemilihan umum (pemilu). Awalnya, isu tersebut dibilang sebagai guyonan para politikus. Namun, ketika petinggi partai ikut bersuara dan menyatakan dukungan, isu tersebut menjadi serius untuk digarap. Deretan petinggi partai yang mendukung penundaan pemilu itu diantaranya Abdul Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Airlangga Hartanto selaku Ketua Umum Partai Golkar, dan Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Bahkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf memberikan pendapat kalau penundaan pemilu itu masuk akal. Masuk akal dari mananya?

Yusril Ihza Mahendra dalam Kompas.com dan Agus Riewanto melalui opininya juga memberikan “lampu hijau” dengan mengemukakan beberapa cara untuk menunda pemilu. Salah satunya melalui amandemen UUD 1945. Di sisi lain, isu penundaan pemilu ini dibarengi dengan isu penambahan masa jabatan presiden dengan dalih aspirasi publik dari petani sawit dan penilaian yang memuaskan terhadap pemerintahan Jokowi. Partai Solidaritas Indonesia yang katanya diisi oleh pemuda itu pun turut bersepakat untuk menambah masa jabatan presiden. Isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden ini menunjukkan adanya upaya untuk ramai-ramai membajak demokrasi.

Tidak Konstitusional

Di dalam konstitusi kita, pada pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Hal ini juga dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 22E mengenai pemilu. Tidak ada ruang untuk penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan presiden. Jokowi sudah terpilih untuk kali kedua. Pada 2024 nanti, dia harus menanggalkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak ada injury time. Artinya, penundaan pemilu tidak mempunyai landasan hukum di dalam konstitusi.

Penundaan pemilu jelas inkonstitusional kecuali jika menggunakan mekanisme pasal 12 yang menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Persoalannya, bagaimana memahami pasal 12? Lebih spesifik pada “keadaan bahaya”?

Dalam Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia karya Herman Sihombing dikenal istilah Noodstaatsrecht dan Staatsnoodrecht. Noodstaatsrecht merupakan keadaan hukumnya yang kosong sehingga karena ketiadaan landasan hukum suatu hal ditetapkan menjadi bahaya. Sedangkan Staatsnoodrecht diartikan sebagai keadaan bahaya yang sesungguhnya seperti bencana alam, perang, dan krisis. Dalam konteks hari ini, keadaan bahaya seperti apa yang membenarkan penundaan pemilu?

Alasan pandemi? Covid-19 memang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai bencana nasional. Banyak orang menjadi korban dan berdampak pada berbagai lini kehidupan. Namun, melihat bagaimana penanganan pandemi di Indonesia, apakah hal tersebut dapat dibenarkan? Sudah dua tahun Indonesia berpengalaman dengan pandemi. Jika harus menunda suatu momen pergantian kekuasaan atas alasan pandemi, waktu yang tepat yaitu menjelang akhir tahun 2020 sebagaimana yang disuarakan oleh para akademisi. Saat itu, pandemi sedang merebak. Banyak korban berjatuhan. Namun, pada kenyataannya pilkada tetap berjalan. Sejumlah 270 daerah melaksanakan pilkada pada tahun 2020.

Alasan ekonomi? Dengan melihat pemerintah yang begitu ngebet untuk memindahkan ibu kota, alasan tersebut tentu saja begitu mudah untuk dibantah. Pemindahan ibu kota mengucurkan dana sekitar 500 triliun. Selain itu, ontran-ontran pembangunan proyek infrastruktrur terus berjalan. Proyek strategis nasional berjumlah 208. Dikutip dari Katadata.id, terdapat 57 proyek bendungan dan irigasi, 56 jalan tol, 19 pengembangan kawasan, 16 pelabuhan, 16 proyek terkait kereta, 15 sektor energi, 12 penyediaan air minum bersih, 8 bandara, 5 sektor teknologi, 2 sektor perumahan, 1 tanggul pantai di DKI Jakarta, dan 1 di sektor pendidikan yakni Universitas Islam Internasional Indonesia. Semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jika menggunakan alasan ekonomi, mengapa semua proyek itu tertap berjalan? Selain itu, mengikuti logika pemerintah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 3,51% pada kuartal III 2021. Lantas, atas dasar apa alasan ekonomi dapat dibenarkan untuk menunda pemilu?

Alasan perang? Ukraina dan Rusia memang sedang berkonflik dan membuat riuh dunia internasional. Indonesia memang terkena imbasnya seperti naiknya harga komoditas. Namun, dalam konteks penundaan pemilu, alasan tersebut tidak tepat.

Politik Keroyokan

“Jika suatu hal melanggar peraturan, peraturannya yang harus direvisi. Jika suatu hal melanggar konstitusi, konstitusinya yang diamandemen”.

Akhir-akhir ini upaya demikian kerap dilakukan oleh para elit Indonesia untuk mengamankan kepentingannya. Formalisasi prosedur yang sudah ada diubah agar selaras dengan kepentingan elite. Dalam banyak kasus agraria, maladministrasi pada ranah kebijakan paling banyak terjadi. Sebut saja UU Cipta Kerja. Sudah banyak akademisi yang membahas kalau orientasi dari kebijakan itu adalah kemudahan investor dan sarat cacat formal dan materiel. Yang paling terbaru adalah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI sehingga rektor dapat merangkap jabatan sebagai komisaris.

Pada zaman Soeharto, pemilu diselenggarakan untuk beberapa kali, tetapi sifatnya formalitas agar di mata rakyat, demokrasi elektoral seolah-olah berjalan dengan baik. Namun, seiring berjalannya waktu, rakyat mulai sadar. Pemilu hanya jadi pesta demokrasi elite semata. Menjelang kejatuhan Soeharto, semua kebobrokannya terlihat. Krisis moneter merembet ke krisis ekonomi sampai krisis politik. Nilai tukar rupiah dengan dolar Amerika terjun bebas dari Rp2000 ke Rp17.000. Pejabat-pejabat di lini pemerintahan mengorupsi uang rakyat begitu besar. Di ranah politik formal, semua itu adalah akibat sekian tahun menutup-nutupi informasi, kurangnya pengawasan kepada kekuasaan, dan tentunya Soeharto yang terlampau lama menjabat sebagai presiden.

Oleh karena itu, reformasi diperjuangkan dengan semangat untuk membatasi kekuasaan. Ketika Soeharto jatuh, desain ketatanegaraan dibuat untuk menandingi wacana hegemoni kekuasaan otoriter. Membatasi kekuasaan presiden hanya sebatas dua periode merupakan langkah awal. Secara bertahap, pemilu dilakukan sedemokratis mungkin. Regulasi hukum dan konstitusi diupayakan agar membatasi kekuatan dominasi oligarki yang bekerja dengan memanfaatkan pemilu secara elektoral.

Apakah hal tersebut meguatkan sistem presidensial? Melihat pelaksanaannya, dengan berbagai reformasi politik dan hukum, termasuk juga ketentuan dalam pemilu justru membuat oligarki semakin bermanuver dengan rapi. Hukum dibuat untuk menyelaraskan kepentingannya.

Contoh yang paling nyata bisa dilihat dari pemberlakuan presidential treshhold. Syarat ambang batas 20 persen di parlemen atau 25 persen suara sah nasional mengakibatkan tidak adanya partai politik yang mampu mengusung calon presidennya sendiri pada tahun 2014 dan 2019. Partai politik mau tidak mau harus berkoaliasi untuk mengusung calon presiden. Partai politik yang tidak berkoalisi dan mendapat suara kecil akan kesulitan mengusung calon presiden. Abstain bukanlah pilihan. Menjadi oposisi pun tidak mendapat tempat dalam sistem politik. Pasalnya, dalam Undang-Undang Pemilu Pasal 235 Ayat 5 menyatakan, dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.

Sistem seperti ini cenderung melanggengkan kartelisasi politik, atau dalam istilah Herlambang Perdana Wiratraman dalam Pemilu dan Neo-Otoritarianisme menyebutnya sebagai “politik keroyokan” yang tercermin dalam koalisi parpol. Corak politik tersebut, alih-alih menampilkan kontestasi yang ideologis justru melanggengkan politik yang pragmatis dan transaksional. Jabatan strategis baik di pemerintahan maupun parlemen akan berupaya untuk mengamankan program dan regulasi yang memberikan keuntungan kepada geng politik kekuasaan dan jjalinan oligarkinya.

Dengan kata lain, pemilu lagi-lagi hanya akan menjadi pesta demokrasi para elite semata. Jika dahulu Soeharto melakukannya secara terpusat dan “terang-terangan”, sekarang, melalui perangkat hukum yang dibuat, kartelisasi politik begitu halus — seakan legal dan konstitusional di mata publik. Formalisasi prosedur bekerja bukan lagi melalui penguasa yang otoriter, tetapi melalui politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan. Corak politik seperti inilah yang melahirkan kekuasaan neo-otoritarianisme.

Kita patut menduga kalau isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini adalah bagian dari kartelisasi para elite politik dengan oligarki secara keroyokan. Tujuannya untuk mengamankan beberapa mega-proyek. Sebut saja dua hal seperti pemindahan ibukota melalui UU tentang Ibukota Negara dan UU Cipta Kerj. Pergantian kekuasaan tentu dapat berpotensi untuk membuka kepentingan-kepentingan tersembunyi bahkan sampai bobroknya suatu rezim.

Lemahnya Komitmen terhadap Demokrasi

Isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang digarap serius oleh tokoh politik Indonesia menunjukkan adanya upaya ramai-ramai membajak demokrasi. Upaya mengubah hukum dan mengamandemen UUD 1945 rupa-rupanya membuat oligarki berjingkrak-jingkrak riang dengan anasir Indonesia adalah negara hukum. Agar tidak melanggar aturan, aturannya yang direvisi.

Hukum dibuat untuk mengamankan kepentingan oligarki melalui dominasinya dalam tubuh kekuasaan. Atas nama hukum, proyek infrastruktur yang merampas ruang hidup masyarakat harus tetap berjalan bahkan dipercepat. Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak konstitusional. Agar menjadi konstitusional, konstitusinya yang diubah.

Cara berpikir yang mengedepankan formalisasi prosedur tanpa berpegang pada prinsip demokrasi hanya melahirkan sistem politik dempulan. Agar publik tidak membaca kartelisasi politik yang pragmatis dan transaksional — juga membuat riuh media di Indonesia, sejumlah upaya mengubah peraturan hukum dimungkinkan. Tentu, sekali lagi, agar terlihat legal dan konstitusional.

Kelak, parpol yang ramai-ramai menggulirkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak pantas untuk dipilih selama mereka tidak memperbarui cara pikirnya secara menyeluruh. Tidak ada ruang dukungan untuk para pembajak demokrasi. Apalagi untuk penjilat kekuasaan.

Menunda pemilu ataupun memperpanjang masa jabatan presiden artinya memperlama kekuasaan suatu rezim. Semakin besar dan lama kekuasaan berdiri dalam suatu entitas politik, kekuasaan itu semakin korup. “Power tends corrupt. Absolute power corrupt absolutely,” Lord Acton (1833–1902).

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet