Abdul Manan
4 min readFeb 19, 2024

Tentang 14 Februari: Harapan, Dari Dekat Sekali

Dok: lokasi Pasar Baru

Tidak asing dengan judulnya? Iya. Judul itu saya nukil dari sebuah liputan mendalam karya Dea Anugrah di Asumsi, Tentang 22 Mei: Harapan, Dari Dekat Sekali. Dea meliput sebuah kerusuhan pasca pemeilihan presiden tahun 2019 di Gedung Bawaslu. Kala itu, Jokowi-Ma’ruf dilaporkan oleh Prabowo-Sandi karena diduga bertindak curang. Dalam prosesnya, upaya lapor-melapor itu mendatangkan kerusuhan. Setelah membaca tulisan itu, saya ingin menulis seperti Dea Anugrah.

Setelah sekian lama drama pengujian hasil pemilu, Jokowi tetap menang. MK menolak semua gugatan yang diajukan tim kuasa hukum tim Prabowo-Sandi. Jokowi berkuasa. Prabowo ia gandeng pula.

Dan sekarang, kita tahu, Jokowi tetap ingin berkuasa dengan segala cara. Dan pemilu 2024 adalah puncak yang memeperihatkan betapa culasnya rezim hari ini. United Focus Indonesia menyematkan Jokowi sebaga the greatest politician of all time, tidak pernah kalah dalam pemilu; mulai dari Solo sampai ke 2024 ini. Win rate: 100%. Namun, politisi adalah politisi. Segala cara dapat ia lancarkan: pengerahan PJ daerah, aparat kepolisian, pemerintah desa, mahkamah konstitusi, kpu dan bawaslu, jajaran kementerian, anggaran negara, dan seterusnya.

Jokowi sebaga pribadi dan presiden mendukung penuh pasangan Prabowo-Gibran. Dia dengan ternag-terangan mengucapkan itu dan mengerahkan segala alat negara untuk membantu pemenangannya. Film Dirty Vote menjelaskan itu dengan sangat gambling.

Hari pencobosan sudah berlalu. Hasil hitung cepat untuk sementara ini didominasi oleh Prabowo-Gibran. Jagat media sosial diwarnai dengan beragam kecamasan. Inikah kebangkita neo-orba? Kecemasan itu pula diakui oleh salah seorang aktivis partai. Dia berkata, “Banyak kawan frustasi, kawan-kawan yang golput juga pada cerita dan bingung abis ini ma ngapain”.

Golput atau tidak itu pilihan. Mengamini konsep lesser evil juga pilihan. Siapa pun boleh berargumen mengapa ia harus memilih atau tidak. Tapi, siapa pun yang terpilih nanti, perjuangan akan terus berjalan, jika pun itu harus tertatih-tatih nantinya. Memang, mewujudkan harapan yang besar adalah sebuah usaha jangka panjang. Namun, konsisten untuk menghargai langkah-langkah kecil juga meruapakn sebuah hal yang tidak boleh dilupakan. Selalu ada harapan, betapapun itu kecilnya.

14 Februari, Dini mematahkan kacamatanya. Ia kesal dan memaki-maki dunia. “Mengapa hari ini sial sekali?” Saya hanya mendengarkan dan sesekali memberi tanggapan untuk membantu, setidaknya untuk membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Kemarahannya berubah menjadi kecemasan setelah melihat hasil hitung cepat sementara. Sebagai jurnalis, ia khawatir akan pekerjaannya nanti. “Bagaimana kalau saya hilang?” Kekhawatirannya berdasar. Prabowo sala satu orang di balik penculikan para aktivis 1998. Sampai sekarang, ia tidak pernah diadili.

Kecemasan tidak boleh hanya jadi kecemasan. Perjalanan terus berlanjut. Dini haru mencari kacamata baru. Beberapa kali, ia mencari sebuah toko kacamata terbaik di Kawasan Pasar Batu, Bandung. Ia mencari kacamata frame berwarna bening dengan lensa yang agak lebar. Dan ia menemukan kacamata itu di sebuah toko kecil, toko pojokan dengan etalase kaca, tak begitu mewah sebagai sebuah toko, tetapi menyediakan kacamata dan frame yang lengkap. Harganya 350 ribu.

Aku diminta untuk memilih salah satu. Dan Dini memilih apa yang aku pilih. Ia tawar menjadi 300 ribu. Dan dia punya sisa untuk pulang dan makan malam. Apa yang ia cari tidak ia temukan dalam toko-toko mewah, besar, dan bergengsi. Ia menemukan kacamata di sudut Pasar Baru, sebuah toko yang mungkin tidak ia duga akan menemukannya di situ.

Tidak sampai di situ. Harapan-harapan lain datang dari seseorang lelaki paruh baya yang menawarkan sebungkus sayuran leunca dan terung. Di Pecel Lele Wifda, pecel lele kesukaannya, lelaki itu menawarkan sebungkus leunca dengan harga lima ribu rupiah. Isinya banyak, mungkin hampir satu kilo. Namun, Dini membelinya dengan harga Rp20.000.

Saat itu, ia hanya memiliki dua lembar Rp20.000 satu lembar Rp2000, dan satu lembar Rp1000. Karena harganya lima ribu, ia merasa tidak enak untuk kemudian memberikan dua puluh ribunya dan meminta kembalian. Dia kasih dua ribunya. Sembari menahan rasa cemas, ia berharap agar uang sisa yang ia pegang cukup untuk membayar makanan yang ia pesan. Ia memesan ayam goreng kering dengan sambal, lalapan kol dan kemangi, serta ati ayam dan telur puyuh yang digoreng.

Kalau ditotal, harganya Rp25.000. Uangnya tersisa Rp23.000. Dan tanpa disangka, ternnyata di dalam buku Lapar — seperti keadaannya — terdapat uang Rp2000. Sangat pas. Dia kira bakal kurang atau lebih. Tapi, pas. Setelah sampai rumah, ia bercerita dengan antusias. Dan seperti biasa, ia selalu menyempatkan buat memotret momen-momen tertentu, apa pun itu.

Banyak hal yang memang tidak kita duga. Dini mungkin tidak pernah menduga dari sekian buku yang ada di rumahnya, buku Knut Hamsun lah yang di dalamnya terselip selembar uang. Ia mungkin tidak menduga dari sekian banyak toko kacamata yang mewah, mentereng, dan elegen, barang yang ia cari justru berada di toko di pojok kecil Pasar Baru.

Suatu hal yang membuat kita tersenyum dan merasa waras untuk terus melanjutkan hidup dan berhaap aka sesuatu yang lebih baik kadang memang datang entah dari mana. Tuhan selalu punya cara tersendiri. “Cara” itu ada di mana-mana, di dalam aktivitas sehari-hari, hal-hal yang mungkin biasa, tapi begitu dekat. Sedekat senyum pria paruh baya penjual leunca.

Dok: Dini
Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet