Yang Tersisa dari Kampung Halaman, Yang Tersisa dari Diriku

Abdul Manan
5 min readApr 18, 2024

--

Lebaran tahun ini, aku memutuskan untuk pulang ke tempat di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana lebaran tahun-tahun sebelumnya, itu sudah menjelma menjadi rutinitas: pulang adalah upaya merehatkan diri dari suntuk dan hingar-bingarnya meja kerja. Aku meninggalkan suasana Joglo yang separuh seperti kapal pecah, kasur yang dibaringkan di lantai penuh debu, dan meja besar yang dipenuhi tumpukan buku, bergeser ke tempat di mana aku begitu pandai menahan diri. Mungkin tidak ada perbedaan yang jauh antara suasana rumahku dengan Joglo di Semarang. Tetapi setidaknya, di sini, di tempat aku tidur sekarang ini aku bisa bangun pagi dan membuka jendela, yang ketika dibuka akan memperlihatkan deretan padi-padi yang mulai menguning dan Sang Slamet yang menjulang tinggi dikelilingi awan-awan.

Demikian pula orang-orang berhamburan meninggalkan kota, kembali ke kampung mereka dengan membawa segenap rezeki, cerita, dan air mata. Namun, tidak bagiku. Aku kira lebaran sebagai momen untuk melepaskan diri sejenak dari rutinitas kerja, kuliah, atau apa pun aktivitas yang dilakukan para perantau tidaklah benar-benar selalu begitu. Pulang tak pernah benar-benar pulang. Rehat tak pernah benar-benar rehat. Laptop kerja selalu kubawa. Sejatinya, ada beberapa garapan dengan tenggat waktu yang sudah di depan mata. Meninggalkan garapan itu di Semarang akan menjadi dilema. Dan membawanya ke kampung hanya akan memperlebar jarak dengan orang-orang rumah, tetangga, dan kawan sebaya.

Memang. Sejak dulu sampai sekarang, aku semakin menyadari dan merasa terasing di kampungku sendiri. Aku dan kampungku ibarat air dan minyak yang tak bisa menyatu. Perasaan tersisihkan dari tempat yang menjadikanku ada membuatku tertatih-tatih memahami asal-usulku. Aku yang lahir dan besar di tempat itu tak pernah tahu aktivitas keseharian orang-orang di sana, cara mereka berpikir, cara mereka berinteraksi, cara mereka menyampaikan isi pikirannya, bagaimana mereka memaknai sesuatu, bagaimana mereka merawat dan membangun kehidupan di atas nilai-nilai itu, sefrustasi dan pesimis apa pun nilai itu di mataku. Pada akhirnya, kealfaanku dalam memahami asal-usulku menjadi masalah ketika aku beranjak ke tempat lain. Terlebih, ketika mengambil profesi yang banyak berhubungan dengan aktivitas menulis. Pekerjaan yang senantiasa menuntut pemahaman sebelum melangkah dan berujung pada keberpihakan. Dan lebaran tahun ini, perjalanan untuk memahami identitas ini memasuki babak baru, tepat ketika aku membaca catatan seseorang yang punya satu keresahan yang sama. Dan aku juga terpantik untuk menulis dan melihat ke dalam diriku yang paling dekat.

Selama hampir dua minggu di rumah, sekalipun pekerjaan dan tuntutan untuk segera menyelesaikan tugas akhir selalu menghantui, aku berusaha memosisikan diri sebagai pendengar yang berupaya untuk tidak menihilkan keberadaannya. Aku berupaya untuk tidak menjadi makhluk kasat mata. Sebaliknya, aku berada sebagai pendengar di mana orang tahu bahwa aku ada di sana untuk mendengarkan mereka. Mereka melihatku dan aku melihat mereka. Dengan cara ini, aku tidak lagi seperti orang yang kebelet buat ngibrit dan pulang cepat dan kembali mengunci diri dalam ruang pengap penuh kesunyian. Dan dengan cara ini pula aku mendapat keseruan yang hanya aku sendiri yang bisa merasakannya dan aku turut serta dalam menghidupkan suasana.

Aku sudah berkali ulang terpikir untuk mulai dari mana pengembaraan itu. Dan aku menyadari bahwa titik pijak itu aku mulai dari orang-orang terdekatku, keluargaku sendiri. Aku banyak mendengar fragmen-fragmen cerita dari Bapak dan Ibu yang sebelumnya hanya lewat begitu saja. Dalam situasi begini aku sungguh percaya kalau bangsa kita adalah bangsa dengan kekayaan tradisi lisan. Cerita-cerita ajaib bersemayam di ujung lisan para ibu, bapak, para sesepuh, bahkan anak-anak yang kelihatannya lugu dan tidak tahu apa-apa. Satu-satunya cara untuk bisa menggalinya adalah dengan menguasai keterampilan mendengar, keterampilan memahami dan berempati, dan keterampilan mengintervensi. Yang aku sebutkan terakhir adalah yang paling susah tetapi sangat penting, menurutku. Karena melemparkan diri ke tengah percakapan tanpa kemampuan mengendalikan situasi bisa berujung petaka.

Dalam perjalananku mengembara menjelajahi asal-usulku, aku mendapat banyak pengetahuan baru. Satu diantaranya misalnya tentang peran aktivitas arisan di tengah warga desa, atau lebih tepatnya di tengah perkumpulan para penjual di pasar tradisional di dekat SD-ku dahulu. Tentu saja, handphone sudah masuk desa. Tik tok, Shopee, dan Instagram, semua mereka pakai. Namun, arisan seperti masih begitu ampuh dan menjadi tradisi di banyak pedesaan Jawa. Ia semacam aktivitas tabung-menabung yang memaksa orang untuk rutin dan disiplin mengisinya dalam periode tertentu, dengan nominal tertentu yang sudah disepakati. Dan pada gilirannya, dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan dalam satu perkumpulan anggota kelompok akan mengundi nama-nama. Nama yang keluar dari undian itu akan mendapatkan akumulasi dana dalam satu periode penyetoran yang sudah ditetapkan. Setiap orang akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan dana. Namun, acapkali giliran kesempatan itu yang menjadi menarik. Kadang, giliran kesempatan itu tidak hanya ditentukan lewat pengundian. Nama yang keluar bisa saja sudah sedemikian rupa diatur. Ada orang yang memang selalu memiliki kebutuhan mendesak dan mau enggak mau mengambil langkah lebih awal dengan meminta kepada pengelola untuk memunculkan namanya duluan. Dan orang-orang seperti ini tidak hanya satu dua. Keputusan memunculkan satu nama yang sudah diatur bukan hanya soal siapa cepat yang meminta, tetapi juga soal posisi tawar, keterdesakan, dan upaya meyakinkan si pengelola, termasuk relasi sosialnya. Dari situ, si pengelola banyak mendapat cerita yang beragam dari kehidupan orang-orang. Dan dalam beberapa hal, mungkin si pengelola tidak seharusnya mendapati cerita itu. Itu semua demi mendapatkan selembar uang. Begitulah betapa pentingnya uang walau kelihatannya, ia hanya selembar kertas. Orang rela berbohong dan membuka aibnya sendiri demi uang. Aku rasa, aku sendiri pun pernah berada di posisi itu, yang menyanggupkanku untuk melakukan apa saja, pinjol sekalipun, termasuk membuang jauh-jauh perasaan malu. Aku mendapat satu nama tentang siapa yang sangat luwes menuliskan persoalan uang dan martabat manusia ini. Ia adalah Fyodor Dostoyevsky.

Itu adalah sekelumit cerita dari banyaknya cerita yang aku dapatkan. Sisanya lebih baik kusimpan sendiri untuk konsumsi pribadi. Hari-hari atau bulan atau tahun berikutnya, aku akan pulang lagi, entah dengan nasib yang sama atau bagaimana. Terkadang, aku selalu membayangkan untuk bisa memberikan banyak waktuku untuk pengembaraan itu. Ketika pikiranku sedang berada di awang-awang sekelebat muncul dorongan untuk kembali ke kampung dan tinggal di sana. Aku ingin membangun sebuah gubuk kecil di belakang rumah bapak, membawa semua buku-bukuku di sana sembari bermain dan memberi makan macam-macam kucing yang silih berganti berdatangan, lalu menuliskan setiap cerita yang kudengar dari orang-orang di sekelilingku. Hari-hari berjalan dengan menyusuri hamparan sawah, memetik cabai dan membungkus kedelai, menjemur pakaian di bawah sejuk sinar matahari pagi disaksikan megahnya Gunung Slamet yang menjulang tinggi. Namun, bayangan itu hanya tinggal bayangan.

Aku yakin dalam hal ini aku tidak sendiri. Ada sekian banyak orang yang memiliki perasaan yang sama, merasa berjalan seperti hantu karena kaki-kakinya tidak pernah berpijak di atas tanah tempatnya tinggal. Selalu ada yang membuatnya tercerabut dari akar-akarnya, entah sebagian entah keseluruhan. Mungkin, aku akan bergabung dengan anak-anak perantauan yang menjadikan pulang kampung sebagai aktivitas rutin tahunan. Mungkin, rumahku yang sebenarnya bukan di sana. Aku pun belum tahu di mana rumahku yang sebenarnya. Atau apa arti rumah sebenarnya? Barangkali, satu-satunya rumah adalah tubuhku sendiri. Dalam benakku, aku masih menyimpan baik-baik bayangan kecil itu. Siapa tahu, suatu hari nanti, momentum itu tercipta dan aku bisa memanggilnya kembali. Setidaknya, dengan penjelajahan untuk memahami identitasku ini, aku bisa terus merawat bayangan kecil itu. Sekardus demi sekardus, setumpuk demi setumpuk dapat kubawa buah tangan dari tempat asalku dan aku bisa membukanya sambil menghitung hari kapan aku bisa kembali lagi. Semoga saja

Kamis, 18 April 2024

--

--

Abdul Manan
Abdul Manan

No responses yet